Seminar FSI dan UPH: Menelusuri Pengaruh “Soft Power” China di Asia Tenggara

Seminar FSI dan UPH: Menelusuri Pengaruh “Soft Power”

Seminar FSI dan UPH: Menelusuri Pengaruh “Soft Power” China di Asia Tenggara Pada tanggal 5 November 2024, Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan Universitas Pelita Harapan (UPH) mengadakan seminar bertajuk “Soft Power RRT yang Sedang Bangkit dan Dampaknya di Asia Tenggara di Bidang Pendidikan dan Budaya”. Seminar ini menghadirkan berbagai pakar untuk membahas pengaruh “soft power” China di kawasan Asia Tenggara, terutama dalam bidang pendidikan dan budaya. Artikel ini akan mengulas secara mendalam tentang seminar tersebut, konsep “soft power” China, serta dampaknya di kawasan Asia Tenggara.

Baca juga : Pilihan Jurusan di Woosong University Dari Bisnis Internasional 

Apa Itu “Soft Power”?

“Soft power” adalah kemampuan suatu negara untuk mempengaruhi negara lain melalui daya tarik budaya, nilai-nilai, dan kebijakan luar negeri yang menarik, tanpa menggunakan kekuatan militer atau paksaan. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Joseph Nye pada tahun 1990-an. Dalam konteks China, “soft power” mencakup berbagai aspek seperti pendidikan, budaya, bahasa, dan teknologi.

Pembicara dan Topik yang Dibahas

Seminar ini menghadirkan beberapa pembicara terkemuka, termasuk Prof. Leo Suryadinata dari ISEAS Yusof Ishak Institute, Singapura, Prof. Edwin Tambunan dari UPH, dan Muhammad Farid dari President University. Moderator seminar adalah Johanes Herlijanto, Ketua FSI dan dosen Magister Ilmu Komunikasi UPH.

  1. Prof. Leo Suryadinata Prof. Leo Suryadinata membahas tentang sejarah dan perkembangan “soft power” China. Ia menjelaskan bagaimana China menggunakan pendidikan dan budaya sebagai alat untuk memperkuat pengaruhnya di Asia Tenggara. Menurutnya, China telah berhasil membangun citra positif melalui slot bet 100 program-program pertukaran pelajar, pendirian Institut Konfusius, dan promosi budaya Tiongkok.
  2. Prof. Edwin Tambunan Prof. Edwin Tambunan menyoroti pentingnya memahami “soft power” China dalam konteks geopolitik. Ia menekankan bahwa selain kekuatan militer dan ekonomi, China juga aktif membangun pengaruh budaya dan nilai-nilai yang dapat mempengaruhi persepsi dunia terhadap negara tersebut. Prof. Edwin juga membahas dampak “soft power” China terhadap pendidikan di Asia Tenggara, termasuk peningkatan minat belajar bahasa Mandarin dan budaya Tiongkok.
  3. Muhammad Farid Muhammad Farid membahas tentang strategi “soft power” China dalam bidang teknologi dan inovasi. Ia menjelaskan bagaimana China menggunakan teknologi sebagai alat untuk memperkuat pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara. Contohnya adalah investasi besar-besaran dalam infrastruktur digital dan teknologi informasi di negara-negara ASEAN3.

Dampak “Soft Power” China di Asia Tenggara

  1. Pendidikan Salah satu dampak terbesar “soft power” China di Asia Tenggara adalah dalam bidang pendidikan. Banyak universitas di kawasan ini yang menjalin kerjasama dengan institusi pendidikan di China. Program beasiswa dan pertukaran pelajar juga semakin meningkat, yang membantu memperkuat hubungan antara China dan negara-negara Asia Tenggara.
  2. Budaya Pengaruh budaya China semakin terlihat di Asia Tenggara melalui berbagai festival budaya, seni, dan kuliner. Institut Konfusius yang didirikan di berbagai negara ASEAN berperan penting dalam mempromosikan bahasa dan budaya Tiongkok. Selain itu, film, musik, dan drama Tiongkok juga semakin populer di kawasan ini.
  3. Teknologi dan Inovasi China juga menggunakan teknologi sebagai alat “soft power”. Investasi dalam infrastruktur digital, seperti jaringan 5G dan teknologi informasi, membantu memperkuat pengaruh China di Asia Tenggara. Selain itu, perusahaan teknologi China seperti Huawei dan Alibaba semakin mendominasi pasar teknologi di kawasan ini.

Tantangan dan Kritik

Meskipun “soft power” China memiliki banyak dampak positif, ada juga tantangan dan kritik yang perlu diperhatikan. Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa pengaruh budaya dan pendidikan China dapat mengurangi identitas budaya lokal. Selain itu, ada juga kekhawatiran tentang ketergantungan teknologi yang berlebihan pada China, yang dapat mempengaruhi kedaulatan digital negara-negara di Asia Tenggara.

Kesimpulan

Seminar FSI dan UPH tentang “soft power” China memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana China membangun pengaruhnya di Asia Tenggara melalui pendidikan, budaya, dan teknologi. Dengan memahami strategi “soft power” China, kita dapat lebih baik dalam menilai dampaknya dan mengembangkan strategi yang bijaksana untuk meresponsnya. Artikel ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lengkap dan menarik bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang topik ini.